Etnis Tionghoa menyebar di seluruh penjuru dunia, termasuk di Indonesia. Meski di Indonesia tergolong minoritas, mereka bisa juga berbaur dengan umat Islam yang merupakan mayoritas. Salah satu yang membantu proses pembauran itu adalah para Muslim Tionghoa yang rata-rata adalah mualaf.
Dari sekian banyak Muslim Tionghoa, satu di antaranya adalah HM Syarif Tanudjaja SH. Pria yang menjabat Ketua Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) DKI Jakarta ini menjadi Muslim pada 1975 setelah melalui proses ujian hidup.
Pria yang memiliki nama Tionghoa Tan Lip Siang ini mendapat hidayah ketika dibelit kesusahan. Ia terjerat utang yang tidak sedikit. Padahal, utang tersebut diambilnya untuk membantu orang lain.
“Saya saat itu tidak habis pikir saja. Bagaimana mungkin niat baik itu akhirnya memberikan masalah ke dalam kehidupan saya?” kata pria kelahiran Cianjur, 20 Maret 1950 ini.
Hal itu tak seperti teori yang diajarkan agamanya saat itu, yakni perbuatan baik dibalas pula dengan kebaikan. Namun, dalam kasus Syarif, balasan yang diperolehnya hanyalah kesulitan baru.
Ia pun berusaha mencari jawaban atas keraguan tersebut melalui agamanya. Ia selalu percaya, agama bisa membuat seseorang menyelesaikan masalahnya. Setidaknya menemukan kedamaian saat mendapatkan cobaan hidup.
Namun, dia harus kecewa. “Pada ajaran agama Kristen, saya temukan dan saya ketahui adalah ketentuan-ketentuan akan dosa warisan. Maksudnya, akibat dosa Adam dan Hawa mengakibatkan manusia menanggung dosa warisan. Artinya, sekali pun bayi yang baru dilahirkan, sudah harus dianggap tidak suci lagi akibat dosa warisan Adam dan Hawa itu,” terangnya.
Dia berusaha untuk memahami konsep dosa warisan tersebut, namun yang ditemukannya adalah penjelasan yang membuat nya makin bingung. Misalnya, ketika Yesus ditanya oleh seorang Farisi, “Apakah yang menyebabkan anak tersebut menjadi cacat? Mungkinkah karena dosa kedua orang tuanya atau dosa siapa?”
Yesus kemudian menjawab kepada orang Farisi tersebut, “Anak ini menjadi cacat akibat dosa ibu bapaknya dan bukan dosanya sendiri. Tetapi, karena Allah akan memperlihatkan kasih-Nya.”
Kisah tersebut membuatnya bertambah bingung.
“Sehingga saat itu saya sempat berpikir, mengapa Tuhannya orang Kristen membuat umatnya menjadi resah, hingga saya merasa kesulitan untuk menyimpulkan makna yang terkandung dalam ayat-ayat Alkitab?” ujar Syarif.
Kegagalan tersebut membuatnya berhadapan dengan tembok tebal. Ia tidak tahu bagaimana caranya menghadapi dan lepas dari permasalahan hidup ini.
Keimanan Syarif tak lagi sama sejak saat itu. “Saya tidak berkonsultasi lagi kepada pendeta karena menurut saya pendeta tidak pernah mampu memberikan solusi untuk permasalahan hidup saya. Pada akhirnya, iman saya kepada Yesus sirna. Kristen tidak mampu membuat hati saya tenteram dan mantap,” ujar anak tertua dari enam bersaudara ini.
Ia kemudian berbalik kepada agama lamanya sebelum Kristen, yaitu Buddha dan Konghucu. Saat lahir, Syarif memang beragama Buddha seperti kebanyakan etnis Cina lainnya. “Namun, saya berubah menjadi Kristiani ketika sekolah karena disekolahkan di sekolah Kristen,” tuturnya.
Kecewa dengan Kristen, Syarif mulai lagi bersembahyang di wihara, belajar meditasi, serta tidak makan daging atau yang bernyawa pada waktu-waktu tertentu. Ia pun bersembahyang untuk menghormati arwah leluhur di klenteng. “Semua ibadah saya lakukan, namun kedamaian tak juga saya temui. Sementara permasalahan terus mendekati saya.”
Kenal Islam
Perkenalan Syarif dengan Islam terjadi ketika dirinya bekerja sebagai pemborong penjual bahan bangunan dan alat tulis kantor. Saat itu, ia mempunya banyak relasi orang Islam. Dari mereka,Syarif mulai mengenal tata cara ibadah Islam.
Misalnya, sebelum menunaikan shalat, seseorang harus terlebih dulu mengambil air wudhu (bersuci). Dan, yang lebih menarik perhatiannya adalah kewajiban umat Islam menunaikan ibadah puasa dan zakat. Juga tentang pokok ajaran ketuhanan dalam Islam, yakni tauhid (mengesakan Allah).
“Allah itu Mahaesa (tunggal). Ia tidak beranak dan tidak diperanakkan, dan tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan- Nya,” kata dia.
Syarif pun mulai mempelajari hakikat musibah dalam agama Islam.
“Ternyata saya malah menemukan solusi yang tepat di dalam Islam,” katanya.
Dalam Islam, Syarif mengetahui bahwa musibah yang ditanggung oleh seorang manusia adalah hasil “tangannya” sendiri. Bahwa ujian yang diterima seseorang adalah ujian atau sebuah hukuman.
Islam juga mengajarkan cara menghadapi masalah tersebut dengan ikhlas dan sabar. Bahwa segala cobaan akan ada jalan keluarnya.
“Itu yang menurut saya sangat logis, tidak dikaitkan dengan kehidupan masa lalu, reinkarnasi, atau dosa warisan. Sejak itu, saya sadar bahwa Islam adalah susunan hidup yang benar,” katanya.
Meskipun demikian, Syarif butuh waktu untuk yakin benar berpindah agama. Hingga pada suatu malam dirinya bermimpi. Dalam mimpi tersebut, Syarif dikejar-kejar oleh lima orang bersenjata. Mereka hendak membunuhnya. Ia pun terpojok di suatu sudut.
Para penjahat itu makin mendekat ke arah Syarif dan tanpa ia sadari tangannya terasa menggenggam senjata sejenis keris. Lalu, dengan satu dorongan, entah mendapat kekuatan dari mana, ia berteriak, ‘Allahu Akbar’ sebanyak tiga kali. “Sungguh menakjubkan, kelima penjahat bersenjata itu semuanya musnah dan hangus bagaikan lembaran-lembaran kertas terbakar,” tutur Syarif.
Mimpi tersebut semakin membulatkan tekadnya untuk menganut Islam. Tepatnya pada 1975, Syarif mengucapkan dua kalimat syahadat di depan kelompok pengajian yang dipimpin oleh Guru Erwin Saman.
Dia pun mengganti namanya dari Tan Lip Siang menjadi Syarif Siangan Tanudjaya. Setelah menganut Islam, masalah yang membelitnya memang tidak langsung pudar. “Namun, menjalani ujian tersebut secara Islam membuat beban saya terasa berkurang. Saya merasa lebih tenang,” ungkapnya.
Bimbing Para Mualaf
Kini, disamping meneruskan profesinya sebagai notaris, Syarif menjalankan aktivitasnya sebagai Ketua Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) DKI Jakarta.
Di lembaga ini, ia berusaha membimbing para mualaf yang mayoritas beretnis Cina untuk memahami Islam dengan lebih baik.
Dia pun selalu mengajarkan kepada para mualaf bahwa menjadi mualaf bukanlah keputusan main-main. Karena itu, PITI tidak melayani mereka yang ingin menganut Islam hanya karena ingin menikah.
“Banyak yang seperti ini. Mereka berdalih akan mempelajari Islam setelah menikah. Namun, tetap tidak akan kami layani dan meminta mereka mencari tempat lain untuk dibacakan syahadatnya,” kata Syarif.
Menurutnya, dengan mengenal Islam lebih baik sebelum membaca syahadat, maka para mualaf akan bisa menjaga keislamannya dan mampu bertingkah laku selayaknya Muslim. Selain itu, agar mereka bisa menghadapi sejumlah tantangan yang mungkin dihadapi setelah memeluk Islam.
Kebanyakan mualaf, lanjutnya, akan bermasalah dengan keluarga mereka. Apalagi bagi mereka yang berasal dari keluarga Tionghoa, keputusan pindah agama akan menjadi sangat rumit. Masih banyak keluarga Tionghoa yang pemikirannya masih terpengaruh sistem sosial kuno, meskipun zaman sudah berubah.
“Mereka akan merasa malu bila ada salah satu keluarganya pindah ke Islam. Karena, Islam dianggap sebagai agama pribumi. Sehingga bila memeluknya, maka jatuhlah martabatnya,” ujar ayah dari dua putra; Ustaz Andrew Fateh dan Ustaz Kelvin Ikhwan ini.
Pemikiran tersebut bertambah buruk dengan kurang baiknya citra Islam belakangan ini. “Aksi pengeboman dan radikalisme lainnya, membuat mereka menganggap Islam adalah agama yang buruk,” katanya.
Pandangan ini, lanjut Syarif, harus diubah. Mereka harus sadar bahwa Islam akan menjadi rahmat di tengah keluarga mereka. Dengan menganut Islam, akhlaknya akan baik dan sopan santunnya terjaga. [yy/republika/foto wordpress.com]
Lihat yg lebih 'menarik' di sini !