Oleh: Priyok Pamungkas
Saya geli sendiri sebuah postingan di FB yang menggambar peta Indonesia yang dipenuhi berbagai bendera negara asing sebagai sebuah penanda perusahaan dari negara mana saja yang menguasai eksploitasi migas di negara kita, dan lucunya tak aada bendera Indonesi a di sana. Sangat provokatif memang, terlihat di posting-posting komentar setelahnya penuh emosi nasionalisme.
Memang tak ada yang salah, tapi beginilah dunia yang begitu gelap, minim informasi, dan semi-tertutup. Dunia Migas. Sehingga tak salah orang-orang diluar sana teriak-teriak dengan petantang-petenteng tentang migas kita yang konon dikuasai asing. Apa betul ini adalah masalah kita yang tidak punya modal? ataukah ini masalah teknologi? atau ini adalah masalah SDM?
Atau yang paling serem apakah betul teori konspirasi yang selama ini beredar bahwa sumber daya migas kita telah diatur sedemikian rupa sehingga dikuasai oleh pihak asing atau ini adalah hasil dari kebodohan kita sendiri dalam mengelola energi. Wallahu ‘Alam, saya juga tak berani memastikan, yang jelas saya punya fakta, silakan anda mengambil kesimpulan masing-masing.
Industri migas adalah industri yang padat modal. Siklus hidupnya pun cukup panjang, mulai dari fase eksplorasi berupa pengambilan dan kajian data-data geologis dan sebagainya, yang tentunya belum bisa menghasilkan apa-apa, lalu dilanjutkan dengan pembuktian analisis geologis tersebut dengan cara membuat sumur eksplorasi yang biayanya bisa mencapai USD30juta untuk satu sumur lepas pantai, padahal pengeboran tersebut hanya berpeluang berhasil 1:10, sehingga perusahaan migas perlu berjaga-jaga menyiapkan uang USD300juta in case butuh gali 10 sumur, lagi-lagi perusahaan migas belum mendapatkan revenue apa-apa.
Apabila akhirnya ditemukan, maka perlu pengeboran lanjutan dan pengembangan fasilitas produksi yang membutuhkan dana ratusan juta dollar. Sampai pada akhirnya perusahaan migas bisa menikmati pendapatan mereka setelah fasilitas produksi itu jadi, itu pun masih harus keluar biaya untuk maintenance dan antisipasi penurunan produksi akibat faktor alami. Dan saudara-saudaraku sekalian, proses siklus ini bisa memakan waktu 20 tahun!!!!
Sifat alamiah industri migas inilah yang akhirnya seperti membuat tembok tersendiri apabila ada investor yang ingin coba-coba bermain minyak, kalau bahasa kerennya mungkin barrier to business. Butuh kemampuan finansial luar biasa untuk melakukannya. Mari kita buat skenario terbaik. Untuk kegiatan eksplorasi buth USD10juta, sumur eksplorasi 5 buah USD150jt, dan pengembangan fasilitas produksi dan sumur produksi USD200jt jadi total USD360jt atau Rp.3,420,000,000,000 (baca: Trilyun) untuk satu lapangan.
For your info, tempat saya bekerja dalam satu blok memiliki 5-9 lapangan. Jadi kalau mau terjun ke dunia migas taruhannya adalah Rp 3,5 T. Di seluruh Indonesia setidaknya ada 157 Wilayah Kerja Migas (blok produksi) yang berproduksi.
Anggap saja satu blok produksi memiliki 5 lapangan, maka investasi yang diperlukan rata-rata adalah Rp2700T belum termasuk maintenance yang perbulan bisa mencapai USD50jt. Sehingga bisa dibayangkan betapa betul-betul padat modalnya bisnis ini. Lagi-lagi tidak sembarangan perusahaan bisa masuk kesini. Itu sebabnya perusahaan nasional kita, Pertamina, tak mampu berbuat banyak dalam kancah perminyakan di Indonesi. Dengan laba yang “hanya” Rp 21T, yang mana setengahnya disetorkan ke negara, tak banyak yang bisa dilakukan oleh Pertamina untuk mengelola seluruh blok di Indonesia.
Walau memang ada cara lain dalam mengelola migas kita sendiri, yaitu dengan mengambil blok yang sudah habis masa kontraknya, namun itu biasanya adalah lapangan yang sudah decline. Namun tetap saja, uang masih bicara dalam maintenance dan pengembangan blok “sisa” KKKS lain tersebut, seperti yang dilakukan Pertamina untuk Enhanced Oil Recovery terhadap sumur-sumur tuanya (yang kebanyakan ex-KKKS lain). Sehingga menyerahkan seluruh pengelolaan migas di Indonesia adalah merupakan kebijakan yang kurang bijak menurut saya.
Lantas ada suara lain yang bilang kalau Pertamina tidak bisa mengelola sekarang kan bisa disimpan nanti untuk anak cucu kita (saya ingat betul ini perkataan dosen saya, Pak Revrisond) sambil menanti Pertam. Saya sendiri sangat setuju mengenai hal ini, 1000%. Namun ada constraint lain untuk mewujudkannya. Yaitu kita sendiri. Kenapa kita sendiri?nah akan saya lanjutkan di tulisan selanjutnya.
Lihat yg lebih 'menarik' di sini !